(( Pengalaman bukan apa yang terjadi pada anda, melainkan apa yang anda lakukan atas apa yang terjadi ))
(Aldous Huxley)

Rabu, 09 Februari 2011

Aman Bukanlah Spekulasi dan Relatifitas Segelintir Orang


Aman belum terjamin dibumi kinanah karena pemimpin Negara mesir tidak turun sedangkan para demonstran ngotot tuk menurunkannya. Di sisi lain pemegang kendali mesir ini berkata  "Tapi, saya takut hal itu akan membuat Mesir kaos," bisa di lihat dihttp://internasional.kompas.com/read/2011/02/04/06044136/Mubarak.Takut.Mesir.dalam.Keadaan.Kaos  sehingga bisa berpengaruh pada stabilitas politik serta keamanan mesir yg diperkuat dengan demo2 susulan yg bisa datang kapan saja, bahkan dalam jumlah yg sulit di prediksikan beserta dampak2nya(melihat demo2 sebelumnya sampe skg) lihathttp://internasional.kompas.com/read/2011/02/08/21432368/Perundingan.Tak.Banyak.Capai.Hasil danhttp://internasional.kompas.com/read/2011/02/08/0328449/Ribuan.Demonstran.Tetap.Bertahan.
Serta aksi2 demo yg terjadi di Indonesia yg memaksa kami menerima kenyataan yg telah terjadi kepada WNI di mesir dengan berbagai tindakan pribumi kepada kami (lihat postingan teman2) tak lupa pula banyaknya tahanan penjara kabur yg setiap saat bisa jadi bom waktu bagi keamanan warga mesir dan warga asing (termasuk Indonesia), karena keamanan WNI di mesir pernah terusik ditahun 2007 dengan munculnya serentetan penodongan, pemukulan serta perampokan (coz sy waktu itu korbannya juga ) padahal waktu itu kondisi politik stabil  Oleh itu kami tidak berani berspekulasi terhadap keamanan kami, harus mengambil langkah antisipasi dg evakuasi dan kabar2 yg diterima keluarga kami memaksa kami harus dievakuasi untuk memastikan keberadaan kami aman walopun usaha menenangkan keluarga di indo sudah kami lakukan sebaik mungkin tetapi kenyataanya keluarga belum tenang sebelum melihat kami dan memang kami dalam keresahan, kegelisaan serta keamanan yg tidak menentu bahkan mengusik ketenangan kami. Evakuasi pun terkesan lambat, ortu telpon pihak kedutaan pun tidak dapat kejelasan bahkan terkesan ortu berbicara pada pihak kedutaan belum selesai tetapi diputus ditengah pembicaraan. Hal itu menimbulkan tidak kepuasaan ortu  pada keamanan kami yang belum jelas batas waktu evakuasi total berakhir.  Kami disini tidak membuat2 berita dan informasi tetapi itu lebih kepada realita yg kami alami dan hadapi setiap saat di negeri kedua kami, karena mesir bak layaknya Negara kami juga tetapi situasi dan kondisi kami memaksa tuk meninggalkan negeri kinanah ini.

Senin, 10 Januari 2011

Santri dan Millieu

 
Kacamata Santri
            Di dalam meneliti seputar lingkungan santri mempunyai keunikan tersendiri tak terkecuali dari aktifitas-aktifitas sehari-harinya yang cenderung kepada pemahaman kitab kuning. Disisi lain juga santri tidak mau kalah dengan orang-orang di luar pondok yang terkesan dengan kebebasannya melakukan dan mengetahui segala apa yang terjadi (dalam hal ilmu pengetahuan). Itu di tuangkan dan diaplikasikan dengan adanya bursa buku, media elektronik serta media cetak lainnya yang mendukung kemajuan dan perubahan dalam diri santri untuk menghadapi era globalisasi ini.
            Benar, apa yang dikatakan oleh Nabi Saw, yaitu memberi pemahaman kepada umat betapa mulia dan agungnya suatu ilmu yang didasari dengan keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Karena secara fitrah manusia, nafsu menginginkan keabadian dan itu tidak akan terealisasi tanpa adanya iman dan ilmu yang manfaat.
            Meneliti latar belakang santri memasuki lingkungan pondok dan menimba ilmu didalamnya memiliki perbedaan yang jauh antara santri zaman sekarang dan zaman dahulu. Santri zaman sekarang memiliki corak dan bentuk yang beragam diantaranya memang keinginan diri sendiri untuk mempelajari ilmu di pondok, dorongan atau desakan keluarga bahkan disebabkan karena suatu masalah yang timbul dari lingkungan sekitarnya.
            Dengan berjalannya waktu semua bercampur baur menyatu, baik yang bersifat baik maupun sebaliknya. Semuanya mau tidak mau harus mengikuti pendidikan serta mentaati peraturan yang telah ditetapkan  dan dijalankan untuk kemashlahatan para santri yang siap berkorban dan mencurahkan seluruh tenaganya demi meraih apa yang telah dicita-citakan guna melangsungkan kehidupan yang beragam penuh cobaan.
            Santri yang dinamis, progresif dan ekspresif  selalu mencurahkan seluruh tenaganya dan rela berkorban untuk mendapatkan keluhuran dengan ilmu-ilmu yang didambakan, diperoleh serta diamalkan dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini sesuai dengan apa yang biasa kita dengar yaitu firman Allah SWT.: رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا : Ya Tuhanku semoga Engkau menambahkan ilmu kepadaku. Adalah petunjuk yang jelas tentang keutamaan ilmu karena Allah SWT. tidak memerintahkan Nabi-Nya untuk mencari suatu kelebihan melainkan ilmu.
Arti ilmu yaitu ilmu syar’i yang berfaedah pengetahuan sesuatu yang wajib bagi mukallaf, berupa perintah agama di dalam ibadah-ibadah dan muamalah-muamalahnya, mengetahui Allah dan sifat-sifatnya secara sempurna.
            Ilmu tersebut yang mengubah manusia dari kenistaan menuju keabadian. Permasalahannya bagaimana mendapatkan ilmu dengan sebaik mungkin?
Ada dua cara menjawab masalah itu yaitu:
1.      Mempelajari kitab-kitab terpercaya  yang dikarang oleh Ulama yang terkenal keilmuannya, amanahnya, dan selamat akidahnya dari bid’ah dan khurafat.
Cara ini mempunyai dua dampak:           
a). Lama waktunya, karena sesungguhnya manusia butuh waktu lama, perhatian mendalam,  bersungguh-sungguh dengan keras sehingga tercapai yang diinginkan. Dampak inilah terkadang orang-orang tidak mampu, apalagi melihat sekitarnya banyak yang menyia-nyiakan waktunya tanpa faedah.
b). Sesungguhnya orang yang mempelajari ilmu dari kandungan-kandungan kitab, ilmunya itu biasanya lemah, tidak didasari oleh kaidah-kaidah dan ushul-ushul. Oleh karena itu kita mendapati banyak kesalahan terhadap orang yang mempelajari ilmu dari kandungan-kandungan kitab dengan pemahaman sendiri yang pas-pasan. Ini pernah tejadi ketika halakah dengan Mufti Mesir, Syekh Ali Jum’ah di masjid al-Azhar, ketika salah seorang murid beliau mencoba untuk mengeluarkan dan menjelaskan isi kitab yang telah dibacanya. Ketika Syekh Ali Jum’ah bertanya tentang kitab apa yang dia baca dan meminta kitab yang dibacanya itu, ternyata murid tersebut salah memahami kandungan dan isi kitab yang telah dia baca.
2.   Mempelajari ilmu dari pendidik yang terpercaya ilmu dab agamanya, cara ini lebih cepat dan meyakinkan untuk mendapatkan ilmu. Karena di dalamnya terjadi proses pemahaman dan pemantapan ilmu melalui tanya jawab, mengunggulkan atau melemahkan perkataan-perkataan yang ada.
Metode-metode tersebut sebenarnya telah dipraktekan di pondok-pondok pesantren melalui sistem, strategi, dan solusi yang telah dibentuk dan diterapkan sedemikian rupa. Walaupun dalam kenyataannya sering mengalami problematika pondok pesantren mengenai proses belajar dan mengajar yang disebabkan kurangnya perhatian ilmu dan banyaknya kegiatan keilmuan baik dari pendidik maupun anak didiknya. Kelemahan tersebut dapat menimbulkan tidak majunya pendidikan pondok pesantren, sulitnya memahami materi-materi yang diajarkan bagi anak didik bahkan menumbuhkan rasa kebosanan, keengganan untuk memahami dan mendapatkan ilmu sampai pada puncaknya.
Oleh karena itu kesan yang tejadi antara kata pendidik dan pengajar jauh berbeda. Dari sini pendidik di tuntut mampu untuk membimbing dan mendidik anak didiknya guna kebaikan bersama. Seringkali pendidik mendapati kekurangannya ketika mengajar, begitu pula anak didik mendapatkan pelajaran yang diterima dari pendidik. Jadi keduanya disamping menjadi pelaku juga menjadi objek dilihat dari segi-segi tertentu.
Memang benar apa yang dikatakan Pepatah arab:
 ِلكُلِّ صَاِرمٍ نَبْوَةٌ وَلِكُلِّ جَوَادٍ كَََبْْوَةٌ وَلِكُلِّ عَالِمٍ هَفْوَةٌ
Artinya: bagi setiap pemotong itu ada melesetnya bagi setiap kuda balap ada tergelincirnya dan bagi orang alim ada kesalahannya. No One is perfect in the world, begitulah peribahasa yang sering kita dengar.
            Apabila kamu mengetahui bahwa kamu berada pada posisi yang benar didalam metode-metode dan pemikiran-pemikiranmu, maka kamu boleh berkata sesungguhnya metodeku benar atau lebih utama, tetapi tidak boleh berkata sesungguhnya yang benar adalah metodeku saja. Karena pandanganmu yang tidak puas dan pikiranmu yang lemah tidak bisa memutuskan dan tidak bisa dijadikan keputusan yang menyebabkan kepada menyalahkan metode-metode yang lainnya.
            Mencari ilmu adalah kewajiban kita sebagai santri, disamping itu juga harus memikirkan bersama untuk kemashlahatan, kemajuan dan harapan pondok pesantren kita yang tercinta dengan disertai kesadaran yang mendalam tidak menyalahkan satu sama lain, melakukan hak dan kewajiban yang dibebankan walaupun terasa berat untuk dilaksanakan. Semua ada batas dan ukurannya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh pembaharu islam dari Turki Syekh Said an-Nursi: “Sesungguhnya penguasa atas pengaturan urusan-urusan manusia yaitu: adakalanya akal atau penglihatan(bashor)….dengan kata lain, adakalanya pikiran atau indera-indera materi, adakalanya hak atau kekuatan, adakalanya kecenderungan-kecenderungan hati atau kecenderungan-kecenderungan akal, adakalanya hawa nafsu atau petunjuk.

Millieu (Lingkungan Pergaulan)
            Kata milieu biasa digunakan dalam ilmu pendidikan untuk menggambarkan lingkungan pergaulan didalam proses pendidikan.
            Asosiasi, sosialisasi, dan interaksi lingkungan sekitar kita memberi pengaruh kuat di dalam pembentukan jiwa manusia sehingga terbiasa untuk melakukan sesuatu yang telah tertangkap oleh indera manusia sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
            Di dalam realitanya santri mampu melakukan semua itu, apalagi didasari dengan pendidikan islam yang telah didapat dari pondok pesantren, sehingga mampu menumbuhkan benih-benih kecintaan terhadap alam sekitarnya, rasa solidaritas tinggi terhadap teman-temannya, memahami, mengerti dan menjalankan hak dan kewajiban. faktor-faktor ini menimbulkan perburuan-perburuan dan menaruh rasa penasaran yang dilakukan oleh muslim sendiri maupun non-muslim untuk mengetahui hakikat santri dari segi metode pendidikan, aktifas sehari-hari dan kekuatan islam yang selama ini sulit dipecah-belahkan.
            Dengan perbekalan-perbekalan yang didapat dari pondok pesantren, santri mampu menyeleksi dan mempertimbangkan antara mashlahat dan madharat. Tidak hanya mengandalkan akal saja yang terbatas, tetapi harus mewujudkan keseimbangan, keselarasan dan keserasian.
Memang benar apa yang dikatakan Abu Nawas di dalam salah satu kisahnya yaitu: “ Dunia itu tak terbatas dan akal itu terbatas maka sudah sepantasnya  yang terbatas tidak bisa mengukur yang tak terbatas”.
            Secara sadar maupun tidak, sebetulnya kita mengetahui semua itu, tetapi seringkali kita lalai dan ceroboh di dalam menjalankan kewajiban kita sebagai santri. Kita saling menyalahkan disebabkan kecemburuan sosial dan perbedaan strata. Permasalahan ini terus-menerus terngiang dan menggaung ditelinga kita, mengganjal di pikiran kita seakan-akan sulit dipecahkan bahkan menimbulkan salah asumsi, persepsi dan apersepsi. Mampukah kita mencari solusi sehingga mencapai kerukunan, keamanan, dan ketertiban bersama? Masalah bersama memang harus dipecahkan bersama.
Permasalahan selama ini adalah kita sering menyia-nyiakan waktu demi kegiatan-kegiatan atau pergaulan-pergaulan dilingkungan sekitar  yang tiada manfaatnya, sehingga menimbulkan  rasa penyesalan di akhir nanti. Orang Bijak berkata:
 اَلرِّضَي بِالضَّرَرِ لا يُنْظَرُ لَهُ
Artinya: Orang rela terhadap suatu bahaya itu tidak diperdulikan.
Maksudnya Apabila  kita rela malakukan sesuatu yang tidak berfaedah seperti menyia-nyiakan waktu belajar dengan obrolan tiada faedah, berlama-lama diwarung, dsb., maka jangan menyalahkan orang lain melainkan salahkan dirimu sendiri sehingga tidak diperdulikan dan menyesal  di kemudian hari. Demikian ini menunjukkan bahwa waktu bukanlah sekedar emas melainkan kehidupan yang hanya dimiliki sekali seumur hidup, maka renungkanlah!.
Disisi lain, pergaulan santri secara eksplisit mempengaruhi kepribadian santri, lebih-lebih di dalam memilih teman karena banyak sekali permaslahan yang ada di pondok dan luar pondok timbul dari pergaulan.
Di dalam syair dikatakan:
يُعْطِيْكَ مِنْ طَرَفِ اللِّسَانِِِِِ حَلاوَةً # وَيَرُوْغُ عَنْكَ كَمَا يَرُوْغُ الثَّعْلَبُ
Artinya: Dari ujung lidahnya dia memberimu sesuatu yang manis, tetapi sebenarnya dia menipumu layaknya seekor kancil.
Syair di atas mengingatkan kita untuk berhati hati didalam memilih teman.
            Pemahan kita tentang arti teman selama ini mungkin salah, sebab teman sebenarnya bukanlah yang terus menerus mau menuruti keinginan kita walaupun dia mengorbankan dirinya, tetapi teman sebenarnya adalah ilmu dan harta benda yang kita miliki (baca: bahaya teman).
            Demikian ini, penulis bukannya membatasi ruang lingkup pergaulan santri, melainkan memberi wacana dan alangkah baiknya pergaulan itu didasari dengan pengetahuan-pengetahuan pondok pesantren serta prinsip hidup yang baik dan kuat sehingga tidak terbawa arus kejelekan yang membawa kemurkaan. Semua itu tak lain untuk menjadikan santri yang hakiki dan menjaga nama baik pondok pesantren tercinta kita ini.
            Masyarakat kita akan menilai kita dari tingkah laku sehari-hari tanpa memandang dari sekolah atau pondok apa kita belajar. Yang kemudian akan di hubungkan dengan pondok kita dan nama baiknya, semua tergantung dari perlakuan kita sehari-hari sebagai wujud pencerminan pengetahuan-pengetahuan yang kita dapat dari pondok pesantren. Hal ini adalah bukti yang provabel apabila kita kembali ke lingkungan masyarakat kita, apalagi saya (penulis) sebagai santri abadi yang pernah mengalaminya semua.
خُذْ مَا صَفَا وَدَعْ مَا كَدَرَ
Artinya: ambillah yang jernih (baik) dan tinggalkanlah yang kotor (jelek).
By: Johaeri Dorduncu

Jumat, 07 Januari 2011

Detik-Detik Rasulullah Saw. Menjelang Sakaratul Maut


Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu meski langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku akan bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kalaitu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya didunia.

Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.

" Bolehkah saya masuk ? " tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,"Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril. Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu."Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan
saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu." Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.

Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" Dan pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya?

Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi
Kirimkan kepada temen-temen muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, karena sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka

Kamis, 06 Januari 2011

Selayang Pandang Madzhab Hanafi

Penggunaan istilah-istilah dalam madzhab hanafi bukanlah hal yang asing bagi sebagian orang, melainkan sebuah wacana dalam memahami madzhab ini, sehingga bisa mengaplikasikannya dengan sebaik mungkin. Banyak juga kalangan, khususnya pelajar menisbatkan Imam Hanafi sebagai fakih Ahli Iraq dan Ahli Ra’yi dikarenakan sosio-kultural beliau hidup pada masa itu, sehingga menimbulkan berbagai interpretasi seperti ketika seseorang mengatakan kalau Imam Hanafi mengedepankan qiyas dari pada hadits atau berpendapat kalau madzhab hanafi itu yang paling sedikit diantara madzhab-madzhab dalam hal berhati-hati di dalam agama. Padahal permasalahannya tidak semudah itu dalam berasumsi dan ber konklusi tanpa mengetahui dengan seksama bagaimana sistem istimbat hukum mereka dan istilah-istilah yang ada didalamnya.
Beliau tidak mengutamakan qiyas dari pada hadis melainkan mengutamakan untuk menggunakan al-quran, hadits, hukum atau keputusan-keputusan sahabat, melakukan apa yang disepakati sahabat, apabila mereka berbeda pendapat maka beliau mengqiyaskan hukum yang satu dengan yang lainnya dengan seluruh illatdiantara dua masalah sehingga menjadi jelas maknanya, sehingga memberikan pemahaman sejelas-jelasnya dan mempermudah dalam melakukan apa yang disyariatkan.
Abu Hanifah adalah orang yang pertama kali mengkodifikasikan ilmu syariat dan tidak ada seorangpun yang mengkodifikasikan sebelum beliau, hal itu karena para sahabat dan tabi’in itu memahami syariat dengan baik dan tidak butuh untuk dikodifikasikan, hati mereka sebagai lautan syariat untuk menunjukkan dan menjawab tantangan zaman yang bersumber dari al-quran dan hadits.
 Hanafiyah membagi pembahasan fikih sebagai asasnya kedalam tiga bagian yaitu: ibadah, mu’amalah dan ‘uqubât.
Adapun madzhab ini justru cenderung kepada perbedaan-perbedaan yang ada dalam ushul fikih dalam penisbatannya terhadap hukum yang terkesan terperinci dan seksama dalam memahami sebuah syariat Islam seperti perbedaan makna fasid dan batil, makruh tanzih dan makruh tahrim, memahami fardhu yang dinisbatkan dengan penggunaan dalil secara qath’i dan wajib dengan menggunakan dalil dzanni.
Memang setiap madzhab mempunyai corak dan warna tersendiri sehingga lebih terlihat pada pengikut-pengikutnya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi perbedaan tidaklah menjadi penghalang dalam Islam bahkan menjadikan Islam sebagai agama yang rasional dan fleksibel dalam segala aspek kehidupan, walaupun kenyataannya dalam muslim sendiri banyak pertentangan bahkan acuh tak acuh untuk menjaga dan melestarikan syariat islam. Hal tersebut lebih terlihat dalam milieu kita dan strata masyarakat yang mendukung timbulnya perbedaan disertai dengan pemikiran-pemikiran non-islam yang merasuk kepada orang-orang islam tanpa diimbangi dengan sifat selektif dan pemfilteran dengan seksama sehingga memudahkan seseorang mengatakan, bahkan menisbatkan apa yang dia katakan kepada madzhab-madzhab islam yang ada dengan mengesampingkan disiplin cabang-cabang ilmu yang telah ditetapkan.
Ya, kita boleh mengatakan metode berpikir kita itu benar tetapi tidak boleh mengatakan bahwa yang benar adalah metode berpikir kita saja.
Apabila kita menelusuri kembali madzhab Hanafi ini, seakan-akan berhubungan dengan pemikiran-pemikiran yang timbul zaman sekarang ini dengan mengedepankan akal saja, fanatisme, berlebih-lebihan bahkan melampaui batas dalam memahami syariat islam. Itu memberikan inspirasi dan mendorong kepada kita untuk mengetahui dan mengerti corak dan warna setiap madzhab dalam islam tanpa adanya saling menyalahkan dan mengedepankan egoisme atau sikap fanatik yang berlebihan dalam aplikasinya.
Diantara istilah-istilah yang ada dalam Hanafiyah adalah shahih yang terbagi menjadi dua yaitu shahih dirâyah dan riwayat. Shahih dirâyah artinya keberadaan  dalil, hujah dan analisa itu terpercaya dari orang yang meriwayatkannya, darimanapun munculnya dalil, hujah dan analisa itu. Shahih riwayat itu karena ketetapannya bersumber dari orang yang mengatakan dengan sanad shahih mutawatir, masyhur atau ahad, seperti yang diriwayatkan dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Hasan, Malik, Syafi’i, Ahmad dan yang lainnya secara shahih, adakalanya dengan menaikkan derajat sanadnya dari apa yang dinukilkan secara terpercaya, terhindar dari cela, cacat dan sebab tidak diterimanya suatu periwayatan, atau dengan menemukannya di dalam  kitab terkenal yang diketahui keadilan, dhabit pengarangnya dalam periwayatan, seperti kitab-kitab Muhammad bin al-Hasan, dan kitab-kitab matan terdahulu yang terpercaya.
Olehkarena itu, hendaklah meneliti secara seksama tentang keshahihan di dalam kenyataan, permasalahan yang sama, riwayat dan dirayah sehingga memungkinkan untuk menguatkan dan membenarkan suatu periwayatan.
Kebanyakan yang di katakan Hanafiyah di dalam kitab-kitabnya adalah as-salaf yang dimaksudkan dari Abu hanifah sampai Muhammad, al-Khalaf  artinya dari Muhammad sampai Syamsu’l Aimmah al Halwai, al-Mutaakhirin yaitu dari al-halwai sampai hafidzuddin Muhammad bin Muhammad al-Bukhari wafat tahun 630. Sedangkan apabila dikatakan al-imam al-A’dzam yang dimaksudkan di dalam kitab-kitab hanafiyah yaitu Imam Abu Hanifah dan yang dimaksud dengan al-Syaikhani yaitu Abu Hanifah dan Abu Yusuf, sedangkan kalau al-Tharafâni adalah Abu Hanifah dan Muhammad, al-Shâhibani yang dimaksud adalah Abu Yusuf dan Muhammad.
Permasalahan-permasalahan yang ada di dalam madzhab Hanafi adalah masalah-masalah ushul yaitu permasalahan-permasalahan dhahirnya riwayat, masalah-masalah selain dzahir riwayat dan permasalahan-permasalahan yang terjadi (al-wâqiât) yaitu permasalahan yang diambil hukumnya oleh muta’akhirin pengikut Muhammad dan setelahnya sampai pada masa ijtihad di dalam permasalahan yang sedang terjadi yang tidak di ketahui dari riwayat imam tiga (al-Aimmah al-Tsalasah) yaitu Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad.
Imam Hanafi merupakan pengusung pertama madzhab dalam islam memberikan pencerahan dan perkembangan dalam metodologi dan cara berpikir yang lebih baik untuk  perkembangan  Islam serta melestarikan syariat-syariat Islam. Hanya saja sekarang ini fanatisme dan perkembangan zaman telah benar-benar mempengaruhi umat islam, menyebabkan sedikitnya orang memperhatikan syariat Islam di dunia ini bahkan tidak tahu apakah Islam itu.

Problematika dan Human Error

Al-quran telah menjelaskan kelebihan dan kesempurnaan manusia, bahkan kekurangan manusia yang lebih hina dari hewan. Manusia memiliki beberapa potensi besar untuk mengembangkan dirinya sendiri menjadi khalifah di muka bumi ini, tetapi pertanyaan mendasar yaitu apa manusia itu?Dan apa problematika  jiwanya?
Mahmud Abbas Al-Uqqad dalam Almajmû’ah al-kâmilahnya jilid 5 hlm. 80 menyebutkan bahwa manusia adalah hewan yang berbicara, hewan madani dengan tabiatnya, roh tinggi  yang jatuh ke bumi dari langit, hewan yang luhur. Definisi tersebut menurutnya diantara definisi-definis yang masyhur dan universal karena universal dari segi keistimewaan akalnya, universal dari segi hubungannya dengan sosial, melihat definisi manusia dengan sifat ini kepada kisah kesalahan yang terjadi pada Adam ketika memakan dari sebagian pohon pengetahuan sebab disesatkan oleh syaitan, melihat kepada runtutan manusia di antara macam-macam hidup menurut madzhab perkembangan (madzhab al-tathawwur). Tetapi dalam coretan ini tidak akan di paparkan pendapat para pemikir  tentang manusia melalui buku-bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa arab seperti buku
 (ستاس) مصير الإنسان الغربي, (دونوي) ألضمير الإنساني, (نيقولا بردياتيق) مصير الإنسان, (أندريه مالروم) قدر الإنسان  dan lain- lain.
Unsur yang terkandung dalam manusia ada dua, membangun dan merusak, kedua unsur ini pasti terjadi dalam diri manusia disadari ataupun tidak. Manusia berakal sehat tidak akan membuat dirinya rusak bahkan binasa dari muka bumi ini, oleh karena itu, problematika jiwa manusia yang mendasar berasal dari diri sendiri, baik dalam merespon sebuah kehidupan pribadi maupun hubungan kehidupan pribadi dengan orang lain. Karena sepintar apapun seseorang, maka tidak akan terlepas dari problematika hidup, sehingga dalam dirinya mempunyai beberapa pengalaman berharga yang bisa dijadikan acuan atau nilai tersendiri untuk menghadapi kehidupan berikutnya. Penulis yakin setiap orang mempunyai jawaban masing-masing dari pertanyaan kedua, oleh karena itu, perlu dikemukakan secara global jawabannya melalui coretan ini yang membuat pembaca mengerutkan kening untuk memahami makna dari problematika yang dituangkan secara global, diantara problematika jiwa manusia yaitu ketakutannya menghadapi kematian dan terpisah dari dunia serta orang-orang tercinta, merasa sia-sia dan tidak ada dari manifestasi hidup, merasa terisolasi di muka bumi, kelemahan manusia untuk menghadapi suka dan duka, takut lapar dan hilangnya rizki, was-was yang mengguncang jiwa manusia, iri dan dengki yang mengakibatkan permusuhan dan perpecahan, gelisah jiwa dan pengaruh-pengaruhnya yang merusak, egoisme,sombong dan mengikuti kedzaliman dan tindak kesewenang-wenangan, sifat ingkar dan perpecahan manusia, putus asa dan patah semangat, hilangnya kejujuran dan keikhlasan, terburu-buru dan tidak sabar.
Setiap manusia mempunyai maindset sendiri dalam menghadapi problematika melalui sifat, konsep dan tataran aplikatif masing-masing, senantiasa bergumul dan berinteraksi demi terciptanya masyarakat yang berpotensi dan melangkah  lebih maju dalam strata kehidupannya. Disinilah manusia tertantang untuk memahami hidup sebaik-baiknya. Good luck!!!

(Tidak ada istilah gagal, yang ada adalah belajar. Kalau kita tidak mendapat pelajaran dari kegagalan itulah kegagalan yang sesungguhnya)

Kedudukan Mahar dan Realita


Mahar merupakan hak diantara hak-hak istri yang harus dipenuhi oleh suami, yaitu hukum diantara hukum-hukum akad nikah, pengaruh diantara pengaruh-pengaruhnya, bukan syarat sah.[1]
Dalil al-Qur’an tentang kewajiban mahar disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 4
وأتوا النساء صدقاتهن نحلة memberikan wacana dan penjelasan bahwa Islam memuliakan wanita diantaranya kewajiban memberikan mahar bagi laki-laki terhadap wanita. Khitab ayat diatas ditunjukkan kepada para suami, dikatakan juga ditunjukkan kepada para wali nikah seperti yang dikatakan oleh Abu Shalih, wali nikah mengambil mahar wanita dan tidak memberinya apapun oleh karena itu para wali nikah dilarang melakukannya dan diperintahkan untuk membayarnya kepada wanita-wanita yang dinikah.[2]
Agama Islam menjadikan setiap laki-laki dan wanita mempunyai tugas masing-masing di kehidupan ini, maka tidak elok bagi setiap salah satunya melampaui tugasnya kecuali ketika dharurat, harus dilakukan, oleh sebab itu, tugas wanita di dalam perspektif Syariat Islam yaitu menjadi pemimpin tempat tinggalnya untuk mengaturnya sesuai yang diberikan kepadanya di dalam kehidupan ini, mendidik anak-anaknya secara benar, oleh karena itu,  tidak bisa meninggalkan keutamaan diantara keutamaan-keutamaannya melainkan membiasakaanya, tidak meninggalkan kejelekan diantara kejelekan-kejelekannya melainkan mawas diri dari kejelekan itu…[3]
Berdasarkan fungsi ini kita bisa mengetahui tugas masing-masing wanita dan laki-laki terutama dalam hubungan rumah tangga dan muamalahnya dengan millieunya. Oleh karena itu kita bisa menjawab kenapa  mahar diwajibkan bagi suami bukan istri? yaitu karena peraturan alam pada eksistensinya menjadikan laki-laki bekerja dan wanita melakukan urusan-urusan rumah dan beban-beban material dibebankan seluruhnya kepada suami. Tentunya mahar material ini diberikan oleh suami sebagai tanda keharmonisan yaitu dari segi kebaikan dan ikhlas.
Oleh karena itu, apabila kewajiban mahar itu terbalik –wajib bagi pihak perempuan- maka akan terjadi ketimpangan seperti menurut laporan wanita di India PBB pada tahun 1991, budaya sosial dimana keluarga pengantin wanita harus membayar mas kawin kepada pengantin laki-laki, telah mendorong banyak laki-laki meminta mahar yang tinggi dan pemberian yang berharga bahkan setelah pernikahan. Ketika keluarga dari wanita miskin tidak dapat memenuhi permintaan suami yang serakah tersebut, mereka menghadapi perlakuan brutal dan terkadang serangan yang bisa menyebabkan kematian. Pada tahun 1987 saja, sekitar 1786 wanita dibunuh karena gagal memenuhi permintaan mahar dari suami mereka.[4]


Macam-Macam Mas Kawin[5]
Mahar menurut Ulama fikih terbagi menjadi dua macam, yaitu: mahar musammandan mahar mitsli.
Mahar Musamman yaitu mahar yang disebutkan di dalam akad atau setelah akad secara saling ridha, atau ditentukan terhadap istri setelah akad secara saling ridha, atau ditetapkan oleh hakim, karena keumuman ayat
وقد فرضتم لهن فريضة, فنصف ما فرضتم (البقرة: 237)

 Ulama berbeda pendapat dalam definisi Mahar Mitsli sebagai berikut:
حدده الحنفية: بأنه مهر إمرأة تماثل الزوجة وقت العقد من جهة أبيها, لا أمها إن لم تكن من قوم أبيها, كأختها وعمتها وبنت عمها, في بلدها وعصرها.
Hanafiyyah mendefiniskannya: mahar wanita yang menyerupai istri pada waktu akad dari segi ayahnya, bukan ibunya apabila tidak ada wanita dari keluarga ayahnya, seperti saudarinya, bibinya (saudari ayah) dan anak perempuan pamannya di daerah dan kerabatnya.
حدده الحنابلة: بأنه معتبر بمن يساويها من جميع أقاربها, من جهة أبيها وأمها, كأختها وعمتها, وبنت عمتها, وأمها, وخالتها وغيرهن القربى
Hanabilah mendefinisikannya sebagai sesuatu yang dihargai bagi orang yang menyamai wanita dari seluruh kerabatnya, dari segi ayah dan ibunya, seperti saudari, bibi, anak laki-laki bibi, ibu,  bibi (saudari ibu) dan lainnya yang kerabat.

حدده المالكية والشافعية: بأنه ما يرغب به مثله – أي الزوج – في مثلها – أي ألزوجة – عادة.
Malikiyyah dan Syafi’iyyah mendefinisikannya sebagai Sesuatu yang dipilih oleh serupa suami terhadap serupa istri secara adat.
Penyebab diwajibkannya mahar mitsli telah dibahas di beberapa literatur fikih,[6] sehingga tak perlu dilampirkan dalam catatan singkat ini.

Selayang Pandang Problematika Mas Kawin[7] 
Dalam kehidupan sehari-hari kita mengetahui berbagai macam aplikasi mahar tersebut, baik dengan material seadanya, sederhana, maupun berlebihan. Kebanyakan masyarakat menjadikan mahar seperti harga untuk wanita, menyangka bahwa hal berlebihan tersbut sebagai pengagungan terhadap keluarga wanita, kebesaran derajatnya. Padahal aplikasi mahar tidaklah berlebihan seperti itu, melainkan sebagai simbol kebenaran kecenderungan pada pernikahan dan pemberian kepada wanita, kasih sayang kepadanya di dalam membina kehidupan rumah tangga yang mulia.[8] Demikian itu menyebabkan berpalingnya pemuda dari pernikahan –apalagi orang-orang miskin- mengikuti jejak syaitan, mencari kejelekan, kebaikan berubah menjadi kejelekan, ketenangan menjadi kerisauan, kehormatan ternodai, nasab pun tercampur dan merebaknya penyakit.[9]
Kesimpulannya bahwa sifat berlebihan di dalam mahar itu makruh secara syar’I, kemudahan di dalam mahar adalah mandub dan diantara sebab-sebab berkah dan kebaikan bagi laki-laki, wanita dan masyarakat.[10]
Begitupula masalah nikah beda agama yang berdampak pada mas kawin diantaranya perbedaan pendapat Ulama mengenai boleh tidaknya mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar apabila memberi mahar mengajarkan suatu surat al-Qur’an kepada istri yang ahli kitab.
Menurut Syafi’iyyah boleh melakukannya apabila istrinya ada harapan masuk Islam, berdasarkan Firman Allah وَإِِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللَّهِ, apabila tidak bisa diharapkan masuk islam maka tidak boleh melakukannya.
Menurut Hanâbilah tidak boleh melakukannya karena sabda Nabi Saw.:
لاَ تُسَافِرُوا بِالْقُرْآنِ إِِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ [11]

Teori Aplikatif dalam Ushul Fikih
Mahar menurut Syafi’i adalah hak murni wanita; ketetapan dan pengambilan hak secara penuh. Abu Hanifah berkata bahwa mahar merupakan hak kepada Allah sebagai permulaannya, barangkali dia berkata; kewajiban kepada Allah, yang wajib untuk wanita, dia berhujah demikian itu bahwa mahar  wajib bukanlah sebab mewajibkan untuk wanita, melainkan kewajiban syara’ sehingga apabila suami dan istri sepakat gugurnya mahar maka wajib gugur.[12]
Dari ketentuan diatas, maka bercabang beberapa permasalahan diantaranya:
  1. Menurut Syafi’iyyah mahar tidak terkira, bahkan boleh sedikit dan banyak. Menurut Hanafiyyah sedikitnya mahar diperkirakan sebanyak 10 dirham,[13] sehingga apabila menyebutkan 5 maka wajib sepuluh. Hanafiyyah beralasan demikian bahwa harta yang sangat sedikit  memliki potensi bahaya di dalam syara’, sehingga sebab harta, pencuri dipotong, oleh karena itu organ kewanitaan tidak diperbolehkan tanpa mahar.
  2. Menurut Syafi’iyyah wanita apabila dipinang oleh laki-laki sekufu tanpamahar Mitsli dan ridha, maka wajib bagi para wali nikah untuk menikahkannya, apabila para wali nikah menolak maka dinikahkan olehQâdhi. Sedangkan menurut Hanafiyyah para wali tidak diwajibkan merespon seperti halnya  apabila wanita itu meminta kepada selain sekufu.



[1] Muhammad Abu Zahrah, Muhâdharât fî ‘Aqdi’l Zawâj wa Âtsâruhu, Dar al-Fikri al-‘Arabi, hlm. 228.
[2] Abu Abdullah Muhammad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami’l Qur’an, Dar al-Hadits, Kairo, 2002, jilid III, hlm. 26
[3] Imam Nawawi, Takmilatu’l Majmu’ Syarhu’l Muhadzdzab li’l Imam Abi Ishaq bin Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Syairazi, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Lebanon, cet. I, 2007, jilid XX, hlm. 5.
[4] The United Nation Report on Women in India, 1991.
[5] Prof. DR. Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, cet. IV, 2007, jilid IX,  hlm. 6774-6776.
[6] Prof. DR. Ahmad al-Hajji al-Kurdi,  al-Mar’ah fi Dhaw’i al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,bab Mahar, Ahkâmu’l Mahri, Dar al-Musthafa, cet. I, Damaskus, hlm. 21-23, DR. Musthafa al-Khin, DR. Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhâjî ‘alâ Madzhabi’l Imam al-Syafi’i, Dar al-Qalam Damaskus, Dar al-Salam, cet. IX, 2008, hlm. 77-79, Prof. DR. Wahbah Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, cet IV, 1997, jilid IX, hlm. 6777-6782.
[7] Untuk problematika kontemporer bisa dilihat di Muhammad Qadrî Bâsyâ, al-Ahkâm Al-Syar’iyyah fî’l Ahwâl al-Syakhshiyyah, Dar al-Salâm, jilid I, hlm. 267-28
[8] DR. Musthafa al-Khin, DR. Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhâjî ‘alâ Madzhabi’l Imam al-Syafi’i, Dar al-Qalam Damaskus, Dar al-Salam, cet. IX, 2008, hlm. 83
[9] Ibid., hlm. 83.
[10] Ibid., hlm. 85.
[11] Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-kuwaytiyyah, bab hukmu hifzhi’l Qur’an, jilid XVII, hlm. 325.
[12] Imam Abu’l Manaqib Syihabuddin Mahmud bin Ahmad al-Zanjanî, Takhriju’l furû’ ‘ala’l Ushûl, Obekan, Riyadh, cet. II, 2006, hlm. 241.
[13] Satu dirham menurut Hanafiyyah yaitu 3,125 gram dan menurut Jumhur yaitu sekitar 2,975 gram, satu dinar yaitu 3, 25 gram, DR. Ali Jum’ah, al-Makâyîl wa’l Mawâzîn al-Syar’iyyah, Dar al-Risâlah, Kairo, cet. I, 2002, hlm. 14. 

Kombinasi Mantiq Di dalam Al-Mustashfa (Wacana Singkat Al-Mustashfa)



A. Prolog 


Puja dan puji syukur kepada Allah yang memberikan kenikmatan kesehatan jasmani dan rohani sehingga menjadikan kita bisa menjalankan aktifitas sehari-hari dalam menyikapi problematika dan perjalanan hidup ini.
Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada pembimbing umat dalam menjawab problematika hidup dengan syariat-syariat yang dibawa, beliau adalah Nabi Muhammad Saw.
Abad kelima merupakan abad percampuran antara Mantiq Aristi, Filsafat Yunani dengan Ushul Islam dan Mantiq Islam. Hanya saja al-Ghazali (505 H.) bukanlah orang pertama kali yang menerapkan metode kombinasi mantiq kedalam ilmu-ilmu Islam, melainkan Ibnu Hazm (456 H.) orang yang pertama kali melakukannya. 
Pengaruh millieu dalam kehidupan ilmiyah al-Ghazali sangat berpengaruh dalam membentuk pola pikir al-Ghazali yang dituangkan dalam karangan-karangan beliau, khususnya Ushul Fikih mulai dari al-Mankhul dalam apresiasinya dan tangapannya terhadap pendapat-pendapat gurunya Imam al-Haramain, Tahdzib al-Ushul, Syifa al-Ghalil sampai pada karya terakhir yang menyikapi dan menanggapi kitab-kitab sebelumnya yaitu al-Mustashfa.
Di dalam kitab ini, al-Ghazali merepresentasikan wacana baru dengan metode independen yang beliau terapkan serta perubahan istilah-istilah non islami menjadi islami menjadikan diterimanya penjelasan dan metode-metode yang ditawarkan.
Tetapi walaupun dikatakan al-Mustashfa adalah pondasi dalam Ushul Fikih Mutakallimin, hal itu tidak luput dari kritikan-kritikan yang dilontarkan Ibnu rusyd dalam kitab al-Dharuri dan Ibnu Taymiyyah dalam kitab Naqda al-Mantiq.
Dalam polemik ini kita bisa mengaca dan mencari jawaban-jawaban yang jelas dan pasti dalam menanggapi dan menjawab permasalahan ushul fikih, bukan berarti menghindar atau bahkan menolak dengan adanya kritikan-kritikan, menjadikan kita mengambil yang jernih meninggalkan yang keruh dan perbedaan umat (fuqaha') adalah rahmat.

I- Teori Metode Al-Ghazali Dalam Mustashfa

Sosok Imam al-ghazali tak terlepas dari sosio-kultural beliau dalam berinteraksi dengan millieu sehingga beliau tak terlepas dari pemikiran-pemikiran yang berkembang saat itu.
Beliau terkenal kepiawaiannya serta multi pemikiran yang dimiliki menjadikan banyak sekali pembahasan yang beliau dedikasikan saat itu hingga sekarang dalam menjawab tantangan zaman serta menjadikan solusi jitu dalam setiap permasalahan yang dilontarkan.
Guru beliau Imam al-Haramain merupakan sosok awal yang membuat beliau terdorong untuk mengarang ilmu ushul, hal tersebut merupakan permulaan perjalanan ilmiyah beliau sebelum mengajar di madrasah al-Nadzdzamiyyah di Baghdad. 
Begitupula sebaliknya, al-Mustashfa merupakan di antara kitab-kitab karangan beliau di akhir kehidupan ilmiyah, setelah kembali dari Damaskus ke tanah kelahirannnya dan mengulangi pengajaran di Naisabur, seperti yang termaktub dalam pendahuluannya. Sehingga dalam setiap metode yang ada dalam kitab memberikan wacana tersendiri yang tak terlepas dari perjalanan ilmiyah serta problematika yang ada pada saat itu.
Ibnu Khaldun berkata: "sesungguhnya sebaik-baik kitab yang ditulis oleh Mutakallimin adalah kitab al-Burhan karangan Imam al-Haramain, al-Mustashfa karangan Imam al-Ghazali, kedua-duanya merupakan dari golongan al-Asy'ariyyah, dan kitab al-Ahd karangan Abdul Jabbar, dan syarahnya al-Mu'tamad karangan Abu Husain Al-Bashri, kedua-duanya merupakan dari golongan al-Mu'tazilah, Keempat kitab itu merupakan pokok-pokok dan pondasi-pondasi bidang ilmu ushul fikih. 
Al-Mustashfa termasuk kitab ushul al-Ghazali yang lebih jelas dalam segi bahasanya, kematangan ringkasan-ringkasan dan hasil-hasil dari segi dominasi makna atas lafadz, jelas pemahamannya, sederhana ungkapannya, sistematis judul dan pembahasannya, serta menggunakan metode mantiq. Di dalam kitab ini al-Ghazali memberikan metode tersendiri di dalam mengungkap dan meberikan solusi dalam suatu perdebatan dan penyempitannya di dalam perbedaan yang sengit antara Ahli Ushul, sehingga beliau menerangkan bahwa perbedaan itu dari segi lafadz yang tidak sampai pada perbedaan furu', adapun apabila perbedaan itu dari segi makna maka akan menyebabkan pada perbedaan furu'.
Diantara hal yang membuat kitab ini lebih unggul dalam segi kekhususan ilmiyahnya yaitu karena kitab ini merupakan karangan yang sempurna dalam menyingkap pendapat-pendapat al-Qadhi al-Baqilani yaitu Imamnya Ahli Ushul dari Mutakallimin, sekiranya al-Ghazali menyingkap dan menjaga koodifikasi dan perdebatan pendapat-pendapat al-Qadhi al-Baqilani di dalam kebanyakan masalah. 
Al-Mustasha merupakan kombinasi antara metode mantiqi dan ushuli yang memberikan kontribusi tersendiri dalam isi-isi yang terkandung di dalamnya, hal tersebut terlihat dalam pembahasan mustholahat ushuliyyah dalam al-had, pembahasan maslahat, dan metode khusus dalam menyingkap permasalahan-permasalahan ushuliyyah sesuai pembahasannya, serta perdebatan yang ditarjihkan oleh al-Ghazali sendiri dalam ungkapan beliau "و المختار عندنا", و الصحيح عندنا"", "وهذا غير مرضي عندنا".

Mushtafa Abdul Razaq berkata: Sesungguhnya menurutku ilmu kalam dan tasawuf terdapat korelasi dengan falsafat yaitu sesuatu yang memperkenankan menjadikan lafadz mencakup terhadap keduanya, maka ilmu ushul fikih yang dinamakan juga ilmu ushul ahkam tidaklah lemah korelasinya dengan filsafat dan hampir pembahasan-pembahasan ushul fiqh juga dibahas dalam ilmu ushul aqa'id yaitu kalam.
Dari situlah Ulama masa selanjutnya terus mempelajari pemikiran kedua filosof islam itu seperti Imam al-Haromain dan Imam al-ghozali dengan memberikan bantahan terhadap kitab-kitab mereka, bahkan meniru terhadap yang mereka suguhkan dalam menggunakan metode pemberian bab-bab dalam setiap pembahasan serta perluasan isi setiap pembahasan.
Olehkarena itu mantiq Ahli Ushul khusus dari Fuqaha' dan Mutakallimin teremanasi dari dalil-dalil dan bukti-bukti yang terkandung pada pembahasan Had Ushuli dan pembahasan Istidlalat (penarikan kesimpulan).
Adapun Had menurut Ushuliyyin (Ahli Ushul) yaitu pengkhususan muhaddad (yang dibatasi) dengan sifat murni, sedangkan had hakiki menurut Aristoteles yaitu pencapaian hakikat, yaitu pencapaian kepada hakikat sesuatu yang didefinisikan, seperti yang ditetapkan Ushuliyyin bahwa had mempunyai tiga persamaan kata yaitu: al-had, al-haqiqah, al-ma'na.
Al-Ghazali memberikan korelasi antara mantiq dan ushul fikih dengan metode-metode independen yang diterapkannya sebagai pengembangan dalam mencapai tujuan syar'i sebagaimana berikut:
a- Pengambilan al-Ghazali dari mantiq sesuatu yang dianggap dharuri untuk ushul fikih yaitu apabila terdapat tabiat pembahasan yang membawanya kepada sebagian pembahasan-pembahasan mantiq maka beliau beradu argumen dengan kadar tertentu.
b- Di antara keistimewaan kombinasi yang dilakukan beliau yaitu proses pergantian musthalat mantiq ke musthalahat Islam, seperti penggantian attasawwur menjadi al-ma'rifat, attasdiq menjadi al-'ilmu, al-juz'i menjadi al-mu'ayyan, al-kulli menjadi al-muthlaq, al-maudhu' menjadi al-mahkum 'alaih, al-mahmul menjadi al-hukm, al-had menjadi al-'illat, asy-syakl menjadi an-nadzm, al-muqaddimah menjadi al-ushul dan an-natijah menjadi al-far'u.
c- Kombinasi al-Ghazali terhadap mantiq dan aplikasinya terhadap ilmu-ilmu islam tidak sampai bercampur dengan qiyas aristi terhadap qiyas ushuli, oleh karena itu dalam pemabahasan kita tidak menemukan pemasukan qiyas aristi kedalam qiyas ushuli, begitu pula sebaliknya.
d- Al-ghozali meringkas kedua kitab mantiqnya yaitu mahakunnadzor dan mi'yaru'l 'ilmi menjadi mukaddimah di dalam al-Mustashfa yang termaktub di dalamnya. 
Demikian hubungan dan pengaruh Filsafat Yunani terhadap pemikiran al-Ghazali dan hal itu tidak terbatas pada apa yang telah dipaparkan. Begitupula beliau terpengaruh pada ulama sebelumnya seperti terpengaruh terhadap kitab-kitab al-Farabi dan Ibnu Sina setelah mempelajari kitab-kitab mereka.

II. Aplikasi Metode Independen Al-Ghazali.

Telah kita ketahui bahwa kebutuhan memasukkan mantiq arsiti di dalam pengambilan kesimpulan kalam sangatlah tampak pada permulaan abad 5 H. ketika mantiq digunakan dengan bentuk yang lebih luas. Di dalam pembahasan ini akan di paparkan secara singkat dan global mengenai pengaruh Yunani terhadap pembahasan di dalam al-Mustashfa:
a- Al-ghazali membatasi dalil di dalam sama' , nash dan sebagian penggunaan akal, beliau juga mengganti al-maddah dan al-shurah dengan al-yaqin wa an-nadzm. Interaksi pendengaran, nash dan akal juga sangat tampak pada pembahasan mashlahat, istishlah, istishab, dan qiyas. 
b- Al-Ghazali membagi al-istidlal al-suwari ke dalam istidlal shahih dan fasid, dan istidlal shahih terbagi menjadi burhani, jadali, dan khithabi.
c- Al-Had aristi yaitu menjelaskan kepada hakikat atau dzat (كنه الشيء المعرف) sedangkan al-had menurut al-Ghazali yaitu perkataan yang menginterpretasikan kepada nama had dan sifatnya bagi penggunanya, hal itu terealisasi dengan kekhususan-kekhususan yang pasti yang tidak membutuhkan penyebutan sifat-sifat antara had dan lainnya. Dengan hal ini maka sudah jelas perbedaan antara pendangan ushul dan ushul aristoteles terhadap tujuan had. Beliau juga memasukkan tashawwur aristi dan menukilnya dari Ibnu Sina untuk menguatkan tashawwur hudud di dalam ushul.
d- Setujunya al-Ghozali di dalam natijah dari susunan dua mukaddimah dalam filsafat, tetapi tidak setuju memasukkannya dalam qiyas karena menurut beliau qiyas ada yang shahih dan fasid sehingga dalam penerapan susunan mukaddimah yang umum itu tidak bisa masuk pada esensi qiyas secara terperinci. 
Perubahan dan aplikasi al-Ghazali dalam menerapkan ushul fikih yang bermula dari Filsafat Yunani sangatlah banyak dijumpai dalam bab-bab kitab Mustashfa dengan konsep dan pembaharuan yang memastikan kesolidan dan kekuatannya dalam menerapkan ilmu ushul (apalagi pembahasan had) sehingga tidaklah cukup untuk memerinci satu-persatu dalam makalah yang terbatas ini.
Di sisi lain mantiq Yunani dalam metode pembuatan had terdiri atas beberapa metode yaitu:
- al-istiqro' yang di nisbatkan kepada Socrate.
- al-qismah yang metode qismah Platon.
- al-burhan yang dinisbatkan kepada Bacrotes
- at-tarkib yaitu madzhab hikmah Aristoteles. 
Sedangkan metode mantiq ushul dilandaskan pada sifat mahdud melalui sifat dzat, dari sini Ahli Ushul memandang sifat dan membaginya kepada dua hal:
- sifat lazim bagi mausuf (yang disifati) yang tidak bisa memisahkan mausuf (yang disifati) dengan tidak ada dzatnya.
- sifat esensial bagi mausuf (yang disifati) yang mungkin untuk memisahkan sifat terhadap mausuf (yang disifati) beserta tetapnya dzat mausuf (dzat yang disifati).

Istilah yang di dedikasikan al-Ghazali sekarang tidak asing ditemukan dalam istilah-istilah yang terdapat dalam kitab-kitab ushul fikih setelahnya, bahkan ushul fikih kontemporer sehingga lebih mudah untuk di pahami walaupun sebagian terinspirasi dari Filsayaf Yunani dan pemikir-pemikir sebelumnya.

B. Epilog

Alhamdulillah segala puji bagi-Nya. Membahas dan menganalisa permasalahan ushul yang di usung al-Ghazali akan menjadi sebuah pembahasan yang panjang dan tidak terlepas dengan kandungan dari kitab-kitab yang telah beliau karangan, yang mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya menuntut kita untuk mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk memahami pemikiran al-Ghozali dalam ushul, apalagi apabila di korelasikan dengan Filsafat Yunani.
Pembahasan global yang telah di sampaikan tersebut kiranya bisa menjadi landasan awal untuk membuka pintu wacana pembaca tentang ushul al-Ghazali. Semua itu tak luput dari keterbatasan wacana yang di sampaikan sehingga menuntut pembaca lebih banyak menggali pemikiran ushul beliau.
Hanya dengan berlindung dan meminta pertolongan-Nya menjadikan kita senantiasa bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitar untuk memahami arti sebuah kenyataan dalam memahami pemikiran-pemikiran yang sangat plural sehingga dikatakan "lihatlah halaman yang berwarna-warni dari buku alam semesta ini", berharap segala ampunan dari-Nya atas segala kekurangan.